KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM DALAM KASUS PENAGIHAN PINJAMAN ONLINE (PINJOL) DI MASA PANDEMI COVID-19
Kajian Sosiologi Hukum dalam Kasus Penagihan PINJAMAN ONLINE (Pinjol) DI MASA PANDEMI COVID-19
oleh: Andre Febriansyah
Latar Belakang Masalah
Pandemi Covid-19 menyebabkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah mengalami penurunan, yang berdampak kepada tingginya tingkat pekerja yang kehilangan pekerjaan, inflasi dan biaya hidup yang semakin tinggi. Disisi lain, perkembangan teknologi informasi semakin pesat, dan justru mengalami akselerasi dalam pembatasan mobilitas akibat pandemi. Perkembangan teknologi informasi sekarang inilah yang menyebabkan Pinjaman Online (Pinjol) menjadi salah satu produk finansial yang paling diminati masyarakat Indonesia saat ini karena memiliki proses pengajuan yang cepat, mudah dan praktis.
Namun dibalik berbagai kemudahan yang ditawarkan ini, ada konsekuensi dan risiko yang akan diterima oleh debitur. Perkembangan Pinjol ini lekat dengan stigma negatif dari masyarakat khususnya dalam cara penagihan. Berbagai kasus pelanggaran hukum oleh Perusahaan Pinjol mulai bermunculan, terutama berkaitan dengan proses penagihan atas tunggakan debiturnya, mulai dari intimidasi, peretasan dan penyebaran data pribadi.
Masyarakat yang awam hukum akan merasa khawatir menghadapi permasalahan tersebut. Pada umumnya pengguna aplikasi tidak mengetahui dengan jelas, apa yang menjadi konsekuensi hukum ataupun cara penyelesaian apabila terjadi kasus penagihan yang melanggar hukum dari Pinjol tersebut.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka beberapa masalah yang akan dibahas, yaitu:
- Bagaimana seharusnya prosedur penagihan Pinjol dan bagaimanakah prakteknya?
- Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum atas upaya penagihan Pinjol?
- Bagaimana seharusnya upaya Pemerintah untuk meminimalisasi pelanggaran hukum atas upaya penagihan Pinjol?
Metode penelitian
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menggunakan pendekatan yuridis empiris, yaitu mengkaji hukum melalui kenyataannya pada kehidupan sosial kemasyarakatan. Penelitian yang dilakukan adalah Field Research yang dilakukan untuk mengumpulkan sejumlah data, bersumber dari buku-buku, data-data OJK, dan berita-berita yang bersumber dari media elektronik, narasumber langsung, serta analisis di media sosial melalui drone emprit academy open data.
Tinjauan Teori
Dalam penulisan artikel ini penulis menerapkan beberapa teori yang relevan:
1. Teori Pertukaran Sosial (George Caspar Homans). Dalam Teori ini, hubungan antara Perusahaan Pinjol dengan masyarakat dianalis antara biaya dan manfaat, berdasarkan untung dan rugi[1].
2. Teori Konflik (Karl Marx). Teori konflik adalah bentuk pertentangan kelas, dipicu oleh pertentangan kepentingan ekonomi[2]. Teori ini akan melihat masyarakat sebagai arena ketimpangan yang memicu konflik dan perubahan sosial, berkaitan dengan adanya penguasaan sumberdaya keuangan oleh Perusahaan Pinjol.
3. Teori Solidaritas Sosial (Emile Durkheim), yang mengatakan apabila terjadi pelanggaran atas kaedah-kaedah hukum, semua warga masyarakat merasa dirinya terancam secara langsung. Dalam hal ini, pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan Pinjol kepada masyarakat memperkuat solidaritas di dalam masyarakat[3].
4. Teori Tanggung Jawab (Hans Kelsen), bahwa debitur dan kreditur Pinjol bertanggung jawab secara hukum berdasarkan unsur kesalahan, prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab, dan prinsip tanggung jawab mutlak[4].
Pembahasan
Berdasarkan Survei Ekonomi Nasional, presentase penduduk miskin pada September 2020 naik menjadi 10,19%, meningkat 0,41% pada Maret 2020. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2020 turun sebesar 2,07% dibandingkan 2019, sebagai dampak dari pandemi Covid-19 yang membuat sejumlah negara melakukan lockdown. Hal ini menyebabkan fintech semakin banyak diakses untuk memenuhi kebutuhan sosial karena menawarkan kemudahan dan kecepatan dalam realisasinya.
Pengertian Fintech
Fintech merupakan singkatan dari financial technology. National Digital Research Center (NDRC) mendefinisikannya untuk menyebut inovasi dalam bidang jasa keuangan atau finansial[5]. Inovasi yang dimaksud adalah inovasi finansial yang diberikan sentuhan teknologi modern. Jenis fintech menurut definisi OJK adalah Crowdfunding, Micro financing, Market comparison, Digital payment system, dan P2P lending service. P2P lending service inilah yang lebih dikenal dengan istilah Pinjol.
Prosedur Penagihan Pinjol
Sesuai dengan kode etik bersama atau joint code of conduct yang ditandatangani oleh beberapa asosiasi fintech Indonesia yakni Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), dan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), para pelaku usaha Pinjol wajib memberikan dan menagih hutang yang manusiawi tanpa kekerasan baik fisik maupun non-fisik, termasuk cyber bullying, dan dilarang menggunakan pihak ketiga pelaksana penagihan yang memiliki reputasi buruk berdasarkan informasi dari Otoritas maupun Asosiasi[6].
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 /POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi tidak terdapat rincian mengenai prosedur penagihan. Namun dalam pasal-pasal yang mengatur mengenai kewajiban dan larangan penyelenggara Pinjol, dapat diketahui salah satu hak pengguna adalah hak atas perlindungan pemberian data dan/atau informasi mengenai pengguna kepada pihak ketiga tanpa seizin pengguna (Pasal 39).
Jenis Pelanggaran dalam Proses Penagihan Pinjol
Pada prakteknya, setidaknya terdapat 5 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban aplikasi Pinjol pada saat proses penagihan[7] yaitu :
No |
Bentuk Pelanggaran |
Pelanggaran Pasal |
1 |
Penagihan yang tidak hanya dilakukan pada debitur atau kontak darurat yang disertakan oleh debitur |
Kerahasiaan data (Pasal 26 POJK 77/POJK.01/2016) |
2 |
Ancaman, fitnah, penipuan dan pelecehan seksual |
- Fitnah (311 Ayat 1 KUHP) - Pelecehan seksual melalui media elektronik (Pasal 27 Ayat 1 jo 45 Ayat 1 UU ITE) |
3 |
Penyebaran data pribadi |
Penyebaran data pribadi (Pasal 32 jo Pasal 48 UU ITE) |
4 |
Penyebaran foto dan informasi pinjaman ke kontak yang ada pada gawai debitur |
Penyebaran data pribadi (Pasal 32 jo Pasal 48 UU ITE |
5 |
Virtual Account pengembalian uang salah, sehingga bunga terus berkembang dan penagihan intimidatif terus dilakukan |
Penagihan intimidatif (Pasal 368 KUHP dan Pasal 29 jo 45 UU ITE) |
Mayoritas pelanggaran tersebut dilakukan oleh Pinjol ilegal, namun dalam beberapa kasus, debt collector Pinjol legal pun juga dilaporkan melakukan pelanggaran tersebut[8]. Bahkan dalam penggerebekan yang dilakukan Kepolisian, ditemukan bahwa beberapa Pinjol legal merupakan perusahaan yang sama dengan Pinjol ilegal, terlibat dalam jual beli data debitur, dan mengumpankan debitur yang gagal bayar ke Pinjol ilegal [9].
Penyebab terjadinya Pelanggaran Hukum dalam Proses Penagihan Pinjol
Berdasarkan statistik fintech yang diterbitkan OJK, selama Pandemi Covid-19 periode 2020, terdapat kenaikan akumulasi penyaluran pinjaman oleh Pinjol (yang resmi dan terdaftar) sebesar 91,30% dibandingkan dengan tahun 2019, namun secara rata-rata, tingkat TWP90 (kegagalan kredit) juga meningkat 136,13% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini selain menunjukkan terdapat korelasi antara penurunan ekonomi dengan peningkatan transaksi Pinjol, juga terjadi peningkatan risiko kegagalan. Dengan kata lain, terjadi accidental poverty, yaitu kemiskinan karena terjadinya pandemi Covid-19, yang kemudian berdampak pada permasalahan lain. Kemiskinan dengan tidak adanya alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidup, adalah sumber dari penyakit sosial dan permasalahan hukum[10].
|
2019 |
2020 |
Naik (Turun) |
Akumulasi pencairan pinjaman (Rp) |
81.497.510.828.317 |
155.902.554.218.280 |
91,30% |
Outstanding Pinjaman (Rp) |
13.157.156.009.827 |
15.319.085.394.949 |
16,43% |
Rata-rata nilai pinjaman/akun (Rp) |
995.376 |
627.608 |
(36,95%) |
Rata-rata TWP90 |
2,57% |
6,08% |
136,58% |
Sumber : Statistik Fintech OJK, diolah
Meskipun Pinjol memberikan solusi cepat untuk kesulitan keuangan yang dihadapi masyarakat, tingkat bunga yang dikenakan relatif besar, sehingga Pinjol ini berisiko menimbulkan defisit pada keuangan pengguna. Kebanyakan debitur Pinjol yang ilegal adalah mereka yang sudah memiliki tunggakan di lembaga keuangan yang legal, sehingga di-blacklist untuk melakukan pinjaman lagi[11]. Beberapa debitur terindikasi sengaja beritikad buruk untuk tidak melakukan pembayaran, atau melakukan cara membayar hutang dengan hutang (gali lubang tutup lubang)[12]. OJK membatasi tingkat bunga Pinjol (resmi) maksimal sebesar 0,8% per hari atau 24% per bulan, tapi hal itu tidak berlaku bagi Pinjol ilegal yang mematok tingkat bunga yang jauh lebih tinggi, disertai dengan pemotongan dana yang disebutkan sebagai biaya administrasi[13].
Dari sisi Perusahaan Pinjol, sebelum memberikan pinjaman seharusnya melakukan analisis character, capital, capacity, condition dan collateral (analisis 5C’s[14]) kepada calon debitur. Pinjol mengesampingkan beberapa kelayakan tersebut demi mendapatkan profit, sehingga menghadapi risiko kegagalan kredit yang tinggi. Dengan adanya Pandemi Covid-19 yang meningkatkan TWP90, maka proses penagihan menjadi krusial. Dalam buku “Doing Business 2020” terbitan Bank Dunia, biaya penagihan utang melalui jalur hukum yang resmi di Jakarta memakan waktu 390 hari, dengan biaya 74% dari total tunggakan. Dengan kenyataan tersebut, Perusahaan Pinjol lebih memilih memakai jasa debt collector demi efektivitas penagihan. Apabila terjadi pelanggaran, hal tersebut ditimpakan pada para debt collector, sedangkan Perusahaan Pinjol sendiri tidak mengawasi proses penagihan yang dilakukan oleh debt collector tersebut[15].
Dalam teori pertukaran sosial, secara implisit memperlihatkan saling ketergantungan antara pertukaran sosial di tingkat mikro dan tingkat makro di dunia fintech dengan penggunanya. Masyarakat membutuhkan akses pendanaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan Perusahaan Pinjol juga membutuhkan masyarakat peminjam untuk memperoleh keuntungan bunga atas pinjaman tersebut. Sehingga hubungan interaksi antara Perusahaan Pinjol dan masyarakat peminjam seharusnya memiliki hubungan saling ketergantungan.
Namun akibat ketimpangan pada penguasaan sumberdaya (keuangan), posisi saling ketergantungan itu pada akhirnya akan bergeser, dan memberikan kekuasaan kepada kapitalis. Sesuai dengan teori konflik, hubungan antara kapitalis pemilik modal (yang berwujud Perusahaan Pinjol) dan masyarakat peminjam akan membentuk dominasi dan pemaksaan oleh Perusahaan Pinjol sebagai pemilik sumberdaya keuangan kepada debiturnya. Dalam pandangan kapitalisme, kegagalan pembayaran oleh debitur disebabkan oleh kesalahan debitur itu sendiri. Ini yang disebut oleh Marx sebagai “kesadaran palsu”, menganggap bahwa problem-problem sosial disebabkan oleh kesalahan individual, bukan dari sistem yang menguntungkan para pemilik modal.
Pelanggaran hukum terhadap proses penagihan Pinjol kepada masyarakat di masa pandemi Covid-19 ini telah menguatkan perasaan senasib dan empati, memunculkan solidaritas di dalam masyarakat, sehingga wacana perlawanan terhadap Pinjol makin menguat di berbagai media sosial. Respon netizen melalui analisis drone emprit di media sosial terhadap Pinjol cenderung negatif, dengan respon emosi yang didominasi “kemarahan” dan “ketakutan”.
Upaya Pemerintah Saat Ini Dalam Mengatasi Pelanggaran Hukum oleh Pinjol
Selain terdapat kode etik bagi Pinjol legal, perlindungan terhadap data pribadi telah diatur dalam Pasal 32 jo Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Secara khusus, dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, Pasal 26 disebutkan bahwa pihak penyelenggara wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan dan ketersediaan data pribadi pengguna, dan pemanfaatannya harus disetujui pemilik data pribadi kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam catatan LBH Jakarta, banyak laporan korban Pinjol yang ditolak Kepolisian dengan bermacam alasan, antara lain pemakluman bahwa tindakan tersebut akibat kesalahan debitur sendiri, atau bukan merupakan ranah Kepolisian. Selain banyaknya penolakan, laporan yang masuk pun tidak ada progress-nya lagi[16].
Selama ini yang dikenakan sanksi sebatas pada debt collector-nya, meskipun sebenarnya Perusahaan Pinjol (resmi) dapat dikenakan sanksi sebagai pihak yang menginisiasi (sesuai KUHP Pasal 55) dan melakukan pembiaran[17]. Sedangkan untuk Pinjol ilegal, upaya aktif yang dilakukan oleh Pemerintah saat ini adalah melakukan penggerebekan, penutupan, serta pemblokiran situs-situs Pinjol ilegal. OJK juga akan melakukan moratorium pemberian izin untuk Perusahaan Pinjol baru. Pemerintah melalui Menkopolhukam, M. Mahfud MD[18] menganjurkan agar tidak perlu melakukan pembayaran kepada Pinjol ilegal, setelah sebelumnya Kominfo mengeluarkan pernyataan senada.
Kesimpulan
Penyebab terjadinya pelanggaran dalam Proses Penagihan Pinjol bersifat kompleks, mulai dari pengabaian prinsip kehati-hatian pemberian kredit, tidak efisiennya proses penyelesaian hutang-piutang, terjadinya accidental poverty. Meskipun debitur Pinjol juga melakukan wanprestasi dalam hal pembayaran pinjaman, namun kesamaan nasib dalam kesulitan ekonomi saat pandemi, membentuk solidaritas dalam masyarakat. Sikap pemerintah sendiri tidak memberikan solusi yang komprehensif, bahkan saling bersilang pendapat. Wacana pemutihan seperti yang dikemukakan oleh Menkopolhukam tak sejalan dengan pandangan Ketua Satgas Waspada Investasi OJK, bahwa masalah hutang-piutang adalah kesepakatan para pihak. Sehingga mekanisme seharusnya bukanlah pemutihan melainkan restrukturisasi hutang. Hal ini juga bertentangan dengan norma hukum dan norma agama, bahwa setiap hutang harus diselesaikan. Pemutihan akan meningkatkan penguatan budaya wanprestasi di masyarakat, yang berimbas ke usaha industri keuangan di Indonesia.
Secara tanggung jawab hukum, untuk kasus Pinjol ilegal, dikarenakan pihak penyelenggara tidak memiliki kewenangan membuat perjanjian Pinjol, maka segala bentuk perikatan terkait Pinjol memenuhi syarat kebatalan. Akibatnya, keadaan harus dikembalikan seperti sedia kala. Uang yang diterima oleh debitur Pinjol harus dikembalikan kepada pihak pemberi pinjaman (kreditur) sesuai nilai semula.
Pemerintah tidak bisa mengesampingkan fakta bahwa banyak masyarakat meminjam ke Pinjol ilegal karena tidak mempunyai alternatif lain untuk memenuhi keperluannya yang sangat mendesak, karena itu upaya pemberantasan tak akan efektif. Permasalahan Pinjol bukanlah sekadar kesalahan individu dari debitur sendiri yang tidak berhati-hati, melainkan masalah sistemik. Apabila tidak ada upaya penanggulangannya secara komprehensif, dapat berakibat stigma negatif masyarakat terhadap keseluruhan industri fintech, yang sebenarnya adalah sebuah inovasi dalam perekonomian nasional.
Solidaritas organis dalam masyarakat modern menyebabkan hukum represif berubah menjadi hukum yang bersifat restitutif. Dalam hukum restitutif, masalah terfokus pada korban, dalam hal ini adalah debitur Pinjol yang dirugikan dalam proses penagihan Pinjol. Sehingga yang diharapkan bukanlah sanksi pidana kepada Pinjol/penagihnya, namun pemulihan kerugian debitur Pinjol yang terkena bunga tinggi serta kerugian lain diakibatkan pelanggaran hukum yang ada.
Saran
Masalah pokok terjadinya pelanggaran hukum terhadap penagihan Pinjol ini adalah tingginya tingkat kegagalan bayar debitur karena accidental poverty akibat pandemi. Maka perlu dipetakan lagi, apakah debitur Pinjol tersebut adalah masyarakat terdampak Pandemi Covid yang justru perlu mendapatkan bantuan sosial, atau pinjaman untuk usaha dengan bunga yang ringan. Pemerintah perlu menyediakan program khusus dan bisa bekerjasama dengan Perusahaan Pinjol dalam menyalurkan kredit tersebut.
Dalam memitigasi risiko kredit, menyehatkan iklim usaha fintech serta mendidik debitur Pinjol yang beritikad buruk (kesengajaan wanprestasi), agar Pemerintah dapat memfasilitasi restrukturisasi hutang dan penyelesaian sengketa antara Perusahaan Pinjol dengan debiturnya secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau. Sehingga tercipta keseimbangan dalam keseluruhan proses pinjaman mulai dari pengajuan, persetujuan, pencairan, pembayaran, penagihan dan penyelesaian, semua proses telah dilakukan secara efisien.
Yang terakhir, sebagai bentuk pertanggungjawaban Pemerintah dalam melindungi debitur Pinjol, sesuai dengan seruan LBH Jakarta, agar Kepolisian menerima seluruh laporan tindak pidana Pinjol, serta mengusut tuntas sampai kepada inisiator debt collector yang melakukan tindak pidana terkait. Sedangkan dalam menjaga data pribadi (hal ini tidak khusus hanya bagi debitur Pinjol) Pemerintah juga seharusnya memprioritaskan suatu aturan hukum dalam bentuk Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi termasuk didalamnya adanya Lembaga Pengawas independen yang bertugas mengawasi aspek perlindungan data pribadi dalam setiap transaksi keuangan elektronik yang berlangsung di masyarakat.
[1] Raho, Bernard, Teori Sosiologi Modern, (Maumere, Penerbit Ledalero : 2021), hal 235
[2] Ibid, hal 96
[3] Laksana, I Gusti Ngurah Dharma dkk, Buku Ajar Sosiologi Hukum, (Tabanan, Pustaka Ekspresi : 2017), hal 122
[4] Asshiddiqie, Jimly & Safa’at Ali, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta, Sekjen Kepaniteraan MK : 2006), hal 61