Perbincangan Oligarki yang Masih Sepi
Perbincangan Oligarki yang Masih Sepi
*Kristianto, Mahasiswa FISIPOL UGM
Hak dan kewajiban warga negara untuk berpartisipasi dalam demokrasi untuk memilih anggota legislatif dan eksekutif periode 2019-2024 memang telah usai. Namun, proses penghitungan suara hingga kini masih berlanjut. Bahkan ribut-ribut antar kedua kubu yang bertarung dalam Pilpres hingga detik ini masih terus eksis, entah kapan akan berakhir.
Pembahasan tentang hal ini masih selalu menjadi trending topic di media sosial, terutama twitter, platform yang sering digunakan orang untuk membahas hal-hal yang dirasa menarik. Mulai dari perbincangan biasa hingga terjadinya twitwor (istilah untuk perang di twitter). Untuk soal Pilpres, ada perbedaan bahasan yang menyolok antara sebelum dan sesudah hari pencoblosan.
Sebelum hari pencoblosan (17 April), massa berlomba-lomba untuk menunjukkan jagoan siapa yang terbaik dengan berbagai agitasi yang dilakukan kedua kubu. Setelah Pilpres dan banyak lembaga survei menrilis hasil quick count serta KPU yang melakukan real count terhadap formulir C1, keramaian di media sosial berubah menjadi isu kecurangan. Dalam bahasan kali ini saya akan mencoba melakukan analisis dari data yang diperoleh dari Drone Emprit Academic.
Dapat dilihat bahwa sejak hari pencoblosan hingga 29 April 2019, kata kunci “kecurangan” telah ditweet sebanyak 488 ribu kali. Mayoritas adalah mereka yang tidak puas dengan kinerja KPU serta adanya dugaan kecurangan yang terjadi dalam Pilpres. Saya mengatakan Pilpres sebab mayoritas yang melakukan pembahasan tersebut hanya tentang Pilpres saja.
Dari grafik yang menunjukkan trend of total mention di platform twitter tersebut dapat dilihat bahwa bahasan mengenai kecurangan mencapai titik paling ramai pada 24 April. Setelah itu meski cenderung menurun dan fluktuatif, namun fluktuasinya konsisten di atas 20.000 tweet dan mention per hari.
Kemudaian jika dilihat dari SNA (Social Network Analysis), bahasan mengenai kecurangan Pilpres ini banyak dilakukan oleh akun-akun dengan jumlah followers banyak dan mendapatkan engagements yang besar. Contoh saja akun milik Said Didu (@saididu) yang mendapatkan 26,785 engagements dan Fadli Zon (@fadlizon) sebagai akun perorangan yang memiliki impact terbesar, bersanding dengan akun portal berita seperti Kompas dan VivaNews. Untuk meluaskan sebaran isu, banyak hastag yang digunakan anatara lain #KpuJanganCurang, #KPUjanganKurangiSuara02 dan #AuditForensikKPU.
(ket : sentimen dan contoh tweet/mention)
Sexy Killers dan Oligarki
Sejak awal kampanye, ada hal monoton yang dilemparkan oleh kedua belah pihak. Yakni isu-isu yang kontraproduktif dan semakin mempolarisasi massa. Namun ditengah-tengah kehausan politik yang dialami oleh orang yang cenderung berpikir terbuka, muncul oase berupa film yang diproduksi oleh Watcdoc Documentary. Film tersebut mulai ditonton melalui nonton bareng di berbagai tempat di Indonesia dari tanggal 5 April 2019 dan dirilis secara resmi di Kanal YouTube mulai 13 April, ketika masa tenang kampanye dimulai. Di kanal YouTube, film tersebut langsung mendapat perhatian dari khalayak luas dengan ditonton lebih dari satu juta kali dalam 24 jam. Hingga kini film tersebut telah ditonton lebih 20 juta kali.
Film yang membahas tentang oligarki tambang batubara ini sempat menjadi trending topic dan diperbincangkan 55ribu kali di twitter.
Dengan bahasan utama kehadiran tambang batu bara yang sering melupakan aspek kemanusiaan bagi masyarakat terdampak, film tersebut mengupas kepemilikan tambang yang dimiliki oleh para elit yang berada belakang kedua kubu yang berkontestasi dalam Pilpres.
Namun, nampakya bahasan tentang oligarki belum terlalu menjadi isu sensitif yang dibahas oleh masyarakat.
Sejak tanggal 5-30 April 2019 bahasan mengenai oligarki di twitter kurang dari 500 mentions. 5 April merupakan kali pertama Film Sexy Killers ditayangkan melalui Nobar. Hingga film tersebut tayang secara umum, bahasan tentang isu oligarki yang berada di balik kontestasi politik masih sangat sepi. Ekskalasi pembahasn isu tersebut masih kalah jauh dari pada isu populer yang lain seperti isu agama dalam politik.
Hemat saya, isu oligarki sangat sepi karena dua hal. Pertama, isu tersebut adalah “high level politics” dan tidak populer di mana tidak semua pengguna media sosial menyadarinya, ia adalah isu yang lebih banyak di bahas di forum-forum diskusi dan akademik. Kedua, kepiawaian para elit dalam memainkan isu-isu sensitif yang mudah menyebar di masyarakat. Selain daya tariknya lebih luas, isu sensitif tersebut juga dapat menjadi penutup isu-isu lain agar tidak diusik, seperti isu oligarki.